Donasi : Bank BCA -- No. Rek, 8305-11-8393 --- A/N : ARINI

Pandangan Agama Buddha Terhadap Bunuh Diri








Paṇḍupalāso va dāni ’si, yamapurisāpi ca ta ṁ upaṭṭhitā
Uyyogamukhe ca tiṭṭhasi, pātheyyam’pi ca te na vijjati.

Sekarang ini engkau bagaikan daun kering dan layu, para utusan raja kematian (yama) telah menantimu. Engkau telah berdiri di ambang pintu keberangkatan, namun tidak kau miliki bekal untuk perjalanan nanti.
(Dhammapada 235)

Akhir-akhir ini kita sering sekali mendengar tentang kematian akibat bunuh diri. Kasus bunuh diri bukan saja terjadi di negara Indonesia saja, tetapi di negara lain juga terjadi, seperti yang telah diberitakan di surat-surat kabar. Di Seoul, Korea Selatan, makin banyak warga yang memilih bunuh diri. Kasus bubuh diri yang mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah itu, terjadi akibat depresi gara-gara kondisi perekonomian yang sulit serta perubahan drastis masyarakat. Di Korea, tingkat bunuh diri pada tahun 2005 adalah rekor tertinggi nasional sekaligus menjadi yang tertinggi di antara anggota organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan menurut pejabat Biro Pusat Statistik (BPS).
Data BPS menunjukkan, dari total jumlah kematian yang mencapai 245.511 pada tahun 2005 itu, 12.047 diantaranya mati akibat bunuh diri. Bunuh diri biasanya dilakukan oleh orang yang berusia lanjut. Media lokal menyebutkan: karena kesulitan ekonomi dan penyakit sering mendorong orang yang berusia lanjut memilih bunuh diri.

Menurut menteri kesehatan dan kesejahteraan Korea Selatan, tingkat bunuh diri di negaranya melonjak drastis dibanding anggota organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan (OECD) dalam 10 tahun terakhir. Statistik kesehatan (OECD) pada tahun 2002 menunjukkan bahwa 18,1% dari 100.000 orang Korea mati bunuh diri. Jumlah itu termasuk peringkat keempat bunuh diri di antara 29 negara. Peringkat pertama Hungaria, kedua Meksiko, ketiga Jepang, dan keempat Korea.

Sedangkan pada tahun 2005, Korea mencapai peringkat kesatu bunuh diri dengan jumlah total 26,1 % dari 100.000 orang mati bunuh diri.

Bunuh diri merupakan salah satu masalah sosial yang amat sukar dicari penyelesaiannya. Sejak jaman dahulu hingga sekarang, manusia telah mengenal cara-cara bunuh diri untuk mengakhiri hidupnya. Pada jaman dahulu, manusia melakukan bunuh diri karena gagal dalam melaksanakan tugas atau kalah dalam perang, dan sebagainya. Selain itu juga akibat dari tekanan ekonomi dan keterasingan yang semakin kuat sehingga orang makin mudah merasa kesepian di tengah keramaian. Akibatnya, bagi orang-orang depresi tersebut bunuh diri menjadi jalan keluarnya.

Adapun ciri-ciri orang yang ingin bunuh diri secara umum adalah sebagai berikut:

- Mengancam akan bunuh diri

- Pernah melakukan usaha bunuh diri

- Memberi pernyataan untuk mati

- Perubahan perilaku secara mendadak

- Tidak mau menjalani pengobatan sesuai petunjuk dokter

- Mudah marah

- Depresi dengan menangis

- Tidak dapat tidur

- Selera makan berkurang

Ada banyak teori mengenai orang bunuh diri. Bunuh diri ini terjadi jika hubungan individu dan masyarakat terputus sama sekali. Umumnya, bunuh diri ini diakibatkan oleh faktor stres atau tekanan hidup maupun tekanan ekonomi. Di Indonesia, kasus bunuh diri dikarenakan kondisi negara yang kacau sehingga rakyat jelata semakin miskin dan terbelenggu oleh kemiskinan tiada akhir. Dalam kondisi ini, bunuh diri merupakan tuntutan norma masyarakat yang mengaggap hal ini sebagai perbuatan terhormat. Kasus bunuh diri biasanya terjadi pada semua tahap usia, dengan kasus yang berbeda-beda. Pada remaja, misalnya karena putus cinta, kesulitan menghadapi lingkungan, maupun pergaulan. Pada orang tua, dikarenakan penyakit berat maupun kesepian karena tidak mendapat perhatian.

Menurut pandangan agama Buddha, dalam Kodhana Sutta, Avyakata Vagga, Aṅguttara Nikāya VII, Sang Buddha mengidentifikasi kecenderungan-kecenderungan penyebab bunuh diri adalah ketidakseimbangan pikiran. Ada beberapa orang di masyarakat serta hal-hal lainnya membuat mereka menjadi rendah diri, mudah kecewa, dan putus asa. Biasanya orang yang bunuh diri itu tidak memahami ajaran Sang Buddha tentang dukkha.

Dalam Pañcasīla Buddhis diterangkan bahwa bunuh diri termasuk pelanggaran sila pertama yaitu membunuh. Jadi, di dalam Pañcasīla Buddhis, sasaran pembunuhan makhluk hidup itu selain makhluk hidup lain juga termasuk diri sendiri. Oleh karena itu bunuh diri termasuk pelanggaran sila pertama, di mana pelakunya akan terlahir kembali di alam yang rendah sebagaimana yang tertulis dalam Jātaka Aṭṭhakathā: ’makhluk yang bunuh diri dengan senjata, minum racun, gantung leher, terjun ke tebing dengan didasari kemarahan, akan terlahir di alam neraka dan alam rendah lainnya.’ Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa kamma ditentukan oleh niat. Orang yang bunuh diri umumnya karena kebencian dan tidak tahan karena menghadapi penderitaan hidup. Hal ini akan membuat kembali ia lahir di alam rendah.

Sesungguhnya setiap orang mempunyai kecenderungan untuk bunuh diri, tergantung seberapa besar mental kepribadian seseorang yang dimilikinya. Orang yang kepribadiannya kaku lebih mudah melakukan bunuh diri jika ada perubahan-perubahan yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya, dibandingkan dengan orang yang kepribadiannya fleksibel.

Kepribadian bisa diajarkan sejak masa kanak-kanak. Anak diajarkan untuk bisa mengatasi masalah sendiri, tidak tergantung dengan orangtua atau orang lain, serta jangan selalu memenuhi keinginan anak. Hal ini agar anak terbiasa menerima kegagalan dan dapat mencari jalan keluar dari masalah tersebut.

Perbaikan kehidupan masyarakat seperti ekonomi, keamanan, perbaikan jaminan, pelayanan sosial, langsung atau tidak langsung merupakan pencegahan untuk bunuh diri.

Akan tetapi, dari semua cara tersebut, cara yang paling jitu dan efektif adalah sebagai warga masyarakat yang baik perlu menjalankan kepekaan terhadap kesulitan-kesulitan orang di sekitar kita, yaitu menyapa orang-orang yang sedang bersedih, mendengarkan keluhan-keluhan mereka, sadarkan dirinya bahwa kesulitan itu timbul dari cara berpikir yang salah. Oleh karena itu, dengan memperbaiki cara berpikir dan berusaha mencari hikmah atas segala semua kesulitan yang sedang dihadapi, maka biasanya bunuh diri dapat dicegah karena orang itu akan bangkit semangat untuk memperbaiki kualitas dirinya.

Sang Buddha bersabda: ’sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia, sungguh sulit kehidupan manusia, sungguh sulit untuk dapat mendengarkan ajaran benar, begitu pula, sungguh sulit munculnya seorang Buddha.’ (Dhammapada 182). Maka, sungguh menyedihkan apabila kehidupan yang berharga ini hancur dengan cara yang bodoh.

Oleh karena itu, hendaknya kita sebagai umat Buddha yang baik, mulai sekarang bekalilah diri kita dengan keyakinan yang kuat sesuai dengan ajaran yang telah diajarkan oleh Sang Buddha, agar kita tidak terjatuh di dalam penderitaan.

Sumber: Dhammapada & Aṅguttara Nikāya VII

http://www.dhammacakka.org/?channel=ceramah&mode=detailbd&id=363






Pandangan Buddhis dalam Masyarakat Indonesia yang Plural dan Demokratis






I. AGAMA DAN KEBUDAYAAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari lebih 13.000 pulau dengan penduduk sekitar 200 juta orang, serta memiliki lebih dari 100 suku bangsa yang menganut berbagai agama dan kebudayaan. Dari berbagai sumber kepustakaan, istilah ‘kebudayaan’ ini sering diartikan sebagai ‘Cara hidup suatu penduduk; sedangkan masyarakat adalah kumpulan penduduk yang terorganisasi dan menganut suatu cara hidup tertentu.’(Pandangan Sosial Agama Buddha, hal. 15). Atau, bisa diartikan pula bahwa ‘Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang mencakup pengetahuan , kepercayaan, seni, moral, hukum, adat dan kemampuan atau kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai warga suatu masyarakat.’(Tylor, “Primitive Culture, hal. 1).
Sedangkan, bila dipandang dari sudut pemahaman Agama Buddha, dalam bahasa Pali, istilah yang dapat diartikan sebagai “budaya, dalam arti mental, moral dan spiritual” adalah bhavana yang berasal dari akar kata “bhav-“ berarti:’pembinaan, pengembangan, pencapaian”. Budaya/pembinaan ini seringkali dibagi dalam tiga cabang pembinaan, yaitu: Pembinaan Jasmani (kaya-bhavana), pembinaan batin (citta-bhavana) dan pembinaan kebijakan (pannya–bhavana)(Pandangan Sosial Agama Buddha, hal. 16).
Dalam pengertian kebudayaan yang sangat kompleks itulah, maka salah satu aspek kebudayaan adalah agama. Agama merupakan bagian kebudayaan yang bertujuan untuk memberikan kebahagiaan lahir dan batin bagi para pemeluknya. Agama, di samping segi teologisnya, juga menekankan aspek humanisme (dari bahasa Latin ‘humanus’= manusia) dengan mengacu pada setiap pandangan yang menitikberatkan perhatian pada kesejahteraan manusia.
II. AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Ironisnya, agama yang bertujuan untuk memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia, sering malah menjadi sumber konflik dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena dalam perkembangannya di masyarakat agama sering mengabaikan aspek humanisme seperti yang telah disebutkan di atas. Pengabaian ini bisa timbul karena: (1) Adanya doktrin yang tidak seimbang antara teologi dan humanisme; (2) dalam praktek, agama sering dipakai sebagai alat pembenaran bagi instink kelompok dalam melawan kelompok lainnya. (Pandangan Sosial Agama Buddha, hal. 28)
Sebagai jalan keluar mengatasi konflik antar agama yang sering terjadi ini, hendaknya agama jangan hanya menekankan upacara dan tradisi saja, melainkan lebih menekankan pelaksanaan agama sebagai jalan hidup. Dalam konteks Buddhis, agama sebagai tradisi dan upacara adalah kalau hanya selalu menekankan kebaktian maupun ceramah-ceramah agama secara rutin. Padahal yang jauh lebih penting daripada pelaksanaan upacara dan tradisi adalah melaksanakan pokok-pokok ajaran Sang Buddha, misalnya saja kerelaan, kemoralan dan konsentrasi. Dengan memiliki kerelaan, misalnya, maka seseorang dilatih untuk lebih mudah menerima kekurangan dan kelebihan berbagai fihak yang ada di sekitarnya. Dengan kerelaan, seseorang akan menyadari bahwa memilih suatu agama adalah merupakan hak asasi. Dengan demikian, biarkanlah setiap orang memilih agamanya masing-masing, tidak ada keharusan memiliki agama yang sama dengan pilihan kita. Sesungguhnya, dasar pemilihan agama adalah karena kecocokan, bukan karena benar dan salah.
Karena sedemikian pluralnya penduduk dan agama di Indonesia, maka untuk menghindari konflik antar agama, dapatlah disebarluaskan dan direnungkan sebuah Prasasti Kalinga No. XXII dari Raja Asoka (Abad ke 3 SM)
“…. Janganlah kita hanya menghormati agama sendiri dan mencela agama lain tanpa suatu dasar yang kuat. Sebaliknya agama orang lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian, kita telah membantu agama sendiri untuk berkembang di samping menguntungkan orang lain pula. Dengan berbuat sebaliknya, kita telah merugikan agama kita sendiri di samping merugikan agama orang lain. Oleh karena itu, barangsiapa menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain semata-mata karena didorong oleh rasa bakti kepada agamanya sendiri dengan berpikir:’Bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri.’ Dengan berbuat demikian, ia malah amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu, kerukunan yang dianjurkan dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia mendengarkan ajaran yang dianut orang lain.” (Proyek Bimbingan P4, 1983/1984,: 28, SM Rasyid, 1988).

Memang, ada kecenderungan bahwa bila seseorang sudah memilih suatu agama, maka ia akan berusaha dengan berbagai cara mengajak orang lain disekitarnya untuk beragama yang sama pula. Ia kadang melupakan bahwa agama adalah hak asasi, bukan paksaan. Dengan adanya usaha pemaksaan pemilihan agama inilah, sering timbul konflik berkepanjangan dalam masyarakat yang sering membawa korban jiwa pula. Untuk mengatasi hal itu, hendaknya contoh nyata yang telah diberikan oleh Sang Buddha ketika ada seorang penganut aliran lain ingin menjadi murid Beliau ini dapatlah dijadikan perenungan. Kejadian ini dapat dibaca pada Majjhima Nikaya, Upali Sutta: Pada satu waktu di Nalanda seorang terkemuka dan kaya raya bernama Upali, pengikut Nigantha Nataputta (agama Jaina Mahavira) yang termashur, setelah berdialog dengan Sang Buddha memohon kepada Sang Buddha agar ia diterima sebagai umat Buddha. Akan tetapi Sang Buddha memperingatkan Upali untuk menimbang kembali secara tenang dan janganlah terburu nafsu. Peringatan ini diberikan oleh Sang Buddha karena Upali adalah seorang yang terkemuka di kota itu. Setelah menimbang-nimbang Upali tetap bertekad agar diterima sebagai umat Buddha. Setelah ia tiga kali memohon barulah Sang Buddha menerimanya dengan syarat agar Upali tetap memberikan penghormatan dan dana kepada gurunya yang lama sebelum ia menjadi umat Buddha. Oleh karena itu, seorang umat Buddha di masa sekarang sekalipun, tidak mengutamakan misi mencari umat sebanyak-banyaknya. Karena misi semacam ini rawan menimbulkan konflik sosial. Umat Buddha lebih cenderung melakukan pembinaan terhadap umat yang memang sudah Buddhis. Sedangkan, apabila ada umat beragama lain yang berminat mempelajari Agama Buddha, ia akan diberikan kesempatan belajar agama Buddha sepuasnya tanpa harus meninggalkan agamanya yang terdahulu, kecuali kalau memang ia benar-benar berminat untuk menjadi umat Buddha.
III. AGAMA DAN KEKERASAN
Sepanjang sejarah pembinaan Agama Buddha sejak 500 SM hingga saat ini tidak pernah mempergunakan kekerasan baik berupa penyiksaan ataupun pembunuhan. Hal itu bisa terjadi karena Sang Buddha telah mengajarkan tentang penghargaan kepada kebebasan dan kehidupan mahluk lain. Tentang ini dapat dibaca pada :
Samyutta Nikaya I, 75:
Jika seseorang menghargai hidupnya sendiri, ia harus menjaganya baik-baik dan hidup secara lurus. Dan oleh karena tidak ada yang lebih berharga bagi hidup manusia daripada hidupnya sendiri, maka ia pun harus menghargai dan menghormati hidup orang lain seperti hidupnya sendiri.

Dhammapada 130:
Semua orang takut hukuman, semua orang mencintai kehidupan. Setelah membandingkan orang lain dengan dirinya sendiri, hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan pembunuhan.

Digha Nikaya I, 73 – Karaniyametta Sutta:
Bagaikan seorang ibu yang melindungi anaknya yang tunggal, sekalipun mengorbankan kehidupannya; demikian juga seharusnya seseorang memelihara cinta kasih yang tidak terbatas itu kepada semua mahluk.

IV. AGAMA DAN KEBEBASAN BERTINDAK
Selain tidak menggunakan kekerasan, Sang Buddha juga tidak mengajarkan para umatnya untuk menerima begitu saja seluruh pelajaran Beliau tanpa menggunakan akal pikiran. Sang Buddha justru lebih menekankan aspek manfaat agama setelah dilaksanakan, bukan hanya menuntut percaya dan yakin secara membuta. Hal ini telah pernah Sang Buddha sampaikan kepada Suku Kalama yang bertanya kepada Beliau tentang bagaimana memilih salah satu ajaran dari sekian banyak ajaran yang terdapat dalam masyarakat. Padahal semua ajaran itu menganggap dirinya yang paling benar dan ajaran lain adalah salah. Sang Buddha bersabda dalam
Kalama Sutta, Anguttara Nikaya I, 190:
Dengarkan, kaum Kalama, jangan hanyut terbawa oleh ucapan orang atau tradisi atau desas desus, atau oleh otoritas kitab suci, oleh penalaran, oleh logika, atau penelitian alasan-alasan; atau setelah merenungkan dan menerima teori-teori tertentu; atau oleh bentuknya yang berkenan di hati; atau oleh pertimbangan:’pertapa itu guruku’…. Tetapi, kaum Kalama, apabila kalian mengetahui sendiri bahwa hal-hal ini…patut dicela oleh para bijak dan bila dilakukan akan membawa kerugian dan penderitaan, maka tolaklah hal-hal itu…. Sebaliknya, apabila kalian mengetahui sendiri bahwa hal-hal ini tidak tercela dan patut dipuji oleh para bijak, dan bila dilakukan akan menghasilkan kesejahteraan dan kebahagiaan, maka lakukanlah dan binalah hal-hal itu.

Kebebasan berpikir dan berpendapat tidak hanya dianjurkan Sang Buddha untuk para umatnya saja, melainkan juga untuk para bhikkhu. Disebutkan dalam Mahavagga II, 114:5, Vinaya Pitaka “Bilamana kalian tidak setuju dengan tindakan para bhikkhu, kami ijinkan kalian untuk mengutarakan pendapat kalian tentang hal itu; kami mengijinkan empat atau lima bhikkhu untuk mengutarakan hal tersebut; tetapi kalau hanya seorang saja, kami tidak berkenan akan hal tersebut.”
V. AGAMA DAN GENDER
Salah satu keunikan ajaran Sang Buddha yang lain adalah tentang pandangan Sang Buddha terhadap perbedaan jenis kelamin. Sejak jaman dahulu, pria dianggap lebih dominan daripada wanita. Namun, dengan kebijaksanaannya Sang Buddha menerangkan bahwa memang pada kenyataaannya banyak pemuka agama dan orang terkemuka di dunia ini yang pria, termasuk Sang Buddha sendiri, namun, tidak akan ada pemuka agama yang besar dan orang-orang terkemuka itu apabila tidak ada wanita yang melahirkannya. Oleh karena itu, dalam pandangan Buddhis, pria dan wanita adalah sama haknya, walau berbeda fungsinya dalam masyarakat. Lebih jauh disampaikan dalam
Kuddhaka Nikaya 1141:
Laki-laki tidak selamanya menjadi orang bijak. Wanita yang memiliki kearifan dalam memandang peristiwa pun termasuk orang bijak.

Samyutta Nikaya I, 129:
Orang yang memikirkan pikiran-pikiran seperti: ‘Aku adalah seorang wanita’ atau ‘Aku seorang pria’ atau bentuk-bentuk pikiran lain ‘Aku adalah…..’ maka Mara akan datang kepada orang seperti itu.

Samyutta Nikaya I, 129:
Sifat alamiah seorang wanita tidaklah menjadi masalah jika pikirannya tenang & teguh, jika pengetahuannya berkembang dari hari kehari dan memiliki pandangan terang di dalam Dhamma.

VI. AGAMA DAN KRISIS EKONOMI
Kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini banyak menghadapi masalah, khususnya masalah ekonomi. Masalah ekonomi yang dipicu dari perilaku keliru bangsa sendiri dan juga efek krisis global membawa pengaruh negatif yang semakin besar. Akibat dari krisis ekonomi ini, timbullah berbagai kerusuhan dan kekacauan di banyak tempat di Indonesia. Memang, kesejahteraan ekonomi sangat erat kaitannya dengan keamanan dalam masyarakat. Disebutkan dalam
Digha Nikaya III, 70:

“…Apabila kekayaan tidak dilimpahkan kepada kaum miskin, maka kemiskinan makin meluas di kalangan manusia; dengan demikian, pencurian pun makin merajalela … penggunaan senjata … pemusnahan kehidupan … penipuan … fitnah … tindak asusila … ucapan kasar dan omong kosong … keserakahan … kebencian … pandangan salah … perzinahan di kalangan keluarga, nafsu birahi yang tak terkendali, nafsu birahi yang salah…merajalela; maka berkuranglah penghormatan kepada orangtua… kepada para pertapa dan brahmana…kepada kepala keluarga…. Di kalangan umat manusia yang demikian kesepuluh jenis perbuatan baik digantikan oleh kesepuluh perbuatan jahat; bahkan istilah ‘baik’ tidak lagi dikenal, apalagi pembawa kebaikan … mereka yang tidak lagi menghormati para pertapa dan brahmana … dan kepala keluarga … malah dipuji dan dihormati …. Umat manusia akan terbenam dalam pergaulan bebas, seperti kambing dan domba, unggas dan babi. Di kalangan umat manusia yang demikian, saling membenci menjadi biasa, kejahatan, permusuhan, dorongan membunuh…menjadi biasa. Bagaikan pemburu melihat binatang buruannya, demikian pula mereka berpikir:’Di kalangan umat manusia akan muncul jaman senjata… dimana mereka memandang sesamanya (bukan sebagai manusia melainkan) sebagai binatang buruan’…dan saling membunuh sesamanya….Tetapi bilamana kemudian berpikir:’karena kita jatuh ke dalam kejahatan, kita menderita kerugian sanak-saudara….Marilah sekarang berbuat baik….menghindari pembunuhan…marilah kita menghormati orangtua, menghormati para pertapa dan brahmana, menghormati para kepala keluarga…Maka di antara orang-orang demikian hanya akan ada tiga penyakit, yaitu: keinginan, kelaparan dan usia tua; dan dunia ini akan makmur dan sejahtera kembali…”

Oleh karena itu, untuk mengatasi berbagai masalah dalam masyarakat yang timbul akibat kesenjangan sosial, maka hendaknya setiap orang disadarkan akan kepedulian sosial dan kepekaan lingkungan, karena ‘Orang yang memperhatikan kepentingan orang lain di samping kepentingan diri sendiri adalah yang terbaik.’(Anguttara Nikaya II, 95; Digha Nikaya III, 233). Selain itu, dalam mencari nafkah hidupnya, seseorang hendaknya selalu dikondisikan untuk mendapatkan penghasilan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, karena hal ini akan memberikan ketenangan dalam hidupnya sendiri maupun keluarganya. Diterangkan dalam Dhamma ‘….tetapi seseorang yang mengumpulkan kekayaan (1) dengan cara-cara yang sah dan tanpa kekerasan; dan dengan berbuat demikian, (2) memperoleh kenikmatan dan sukacita (3) dan ia membaginya dengan orang lain serta melakukan perbuatan-perbuatan baik; dan (4) menggunakannya tanpa keserakahan dan kehausan, tanpa melakukan pelanggaran-pelanggaran, menyadari bahaya dalam penyalahgunaannya dan sadar akan tujuan hidupnya yang tertinggi, maka ia patut dipuji dan tidak tercela dalam keempat segi itu. (Samyutta Nikaya IV, 331)
VII. KESIMPULAN
Memang, segala yang diberikan di atas adalah merupakan saran alternatif yang bisa dipergunakan untuk mengatasi berbagai masalah dalam masyarakat Indonesia yang plural dan demokratis ini. Hanya saja, saran sebaik apapun juga tidak akan memberikan manfaat kalau tidak dicoba untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, kembali pada prinsip awal, bahwa agama bukanlah hanya menekankan pada tradisi dan upacara saja, melainkan pada pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari sehingga memberikan kebahagiaan untuk diri sendiri maupun lingkungannya.
Perlu disadari di sini, bahwa segala konflik dan permasalahan yang terjadi, sesungguhnya bukan disebabkan oleh pengaruh luar, melainkan oleh cara berpikir yang tidak benar. Cara berpikir yang dibarengi dengan ketamakan, kebencian dan kegelapan batin itulah yang sesungguhnya menjadi sumber segala bentuk konflik. Oleh karena itu, perbaikan cara berpikir setiap individu adalah merupakan kunci perdamaian dunia. Karena apabila setiap orang benar cara berpikirnya, maka keluarganya akan benar pula. Bila keluarga benar cara berpikirnya, maka masyarakat akan tentram dan damai. Jika masyarakat berpikir yang terbebas dari ketamakan, kebencian dan kegelapan batin, maka bangsa dan negara yang dibentuknya menjadi tentram dan damai. Apabila setiap bangsa bisa berpikir dengan benar, maka tentu saja akan terwujud kondisi global yang tentram dan damai. Oleh karena itu, dari diri sendirilah harus dimulai perbaikan yang bisa membawa dampak positif secara global ini.
Cara memperbaiki pola pikir ini adalah dengan mengembangkan kerelaan, kemoralan dan konsentrasi. Kerelaan adalah latihan melepas baik materi maupun tenaga. Namun, tujuan kerelaan ini adalah melepaskan keakuan, tidak mudah terpengaruh emosi. Kemoralan adalah latihan disiplin, yaitu berusaha mengevaluasi hasil kerja yang sudah diperoleh untuk diperbaiki bila ada kekurangan dan untuk ditingkatkan bila sudah ada nilai positifnya. Sedangkan konsentrasi adalah latihan menenangkan pikiran sehingga mampu menghadapi segala kesulitan dan perubahan dengan pikiran yang tenang seimbang sehingga dapat mengevaluasi segala perilaku dengan baik dan hasilnya adalah masa depan yang cerah.
Semoga makalah singkat ini dapat memberikan masukan dan manfaat untuk kita semua.
Semoga semua mahluk berbahagia.

Kepustakaan:
Corneles Wowor, MA., Pandangan Sosial Agama Buddha, penerbit: Aryasuryacandra, 1991.
Corneles Wowor, M.A., Herman S. Endro, S.H., Dr. Hudoyo Hupudio, Materi Pokok Pendidikan Agama Buddha Modul 1 – 3, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka, 1986
…., Kitab Suci Dhammapada, Yayasan Dhammadipa Arama bagian Penerbitan, Jakarta, 1993
…., Pedoman Pelaksanaan P-4 bagi Umat Buddha, penerbit: Hanuman Sakti, 1993.
…., Pedoman Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, Proyek Pembinaan Kerukunan Umat Beragama, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama RI, Jakarta, 1989/1990.

http://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/pandangan-buddhis-dalam-masyarakat-indonesia-yang-plural/

Aṅguttara Nikāya, 8.25. Mahānāma

Hasil gambar untuk buddhisme

Location


Bago, Myanmar (Burma)Buddhisme Photo © Biopix: JK Overgaard


Aṅguttara Nikāya

8.25. Mahānāma



Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Sakya di Kapilavatthu di Taman Pohon Banyan. Kemudian Mahānāma orang Sakya mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Dengan cara bagaimanakah, Bhante, seseorang adalah seorang umat awam?”
“Ketika, Mahānāma, ia telah berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, dengan cara demikian seseorang adalah seorang umat awam.”

“Dengan cara bagaimanakah, Bhante, seorang umat awam adalah bermoral?”
“Ketika, Mahānāma, seorang umat awam menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, dengan cara demikian seorang umat awam adalah bermoral.”

“Dengan cara bagaimanakah, Bhante, seorang umat awam berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi tidak demi kesejahteraan orang lain?”

(1) “Ketika, Mahānāma, seorang umat awam sempurna dalam keyakinan tetapi tidak mendorong orang lain agar sempurna dalam keyakinan; 

(2) ketika ia sendiri sempurna dalam perilaku bermoral tetapi tidak mendorong orang lain agar sempurna dalam perilaku bermoral; 

(3) ketika ia sendiri sempurna dalam kedermawanan tetapi tidak mendorong orang lain agar sempurna dalam kedermawanan; 

(4) ketika ia sendiri ingin menemui para bhikkhu tetapi tidak mendorong orang lain untuk menemui para bhikkhu;

(5) ketika ia sendiri ingin mendengarkan Dhamma sejati tetapi tidak mendorong orang lain untuk mendengar Dhamma sejati; 

(6) ketika ia sendiri mengingat ajaran yang telah ia dengar tetapi tidak mendorong orang lain untuk mengingat ajaran; 

(7) ketika ia sendiri memeriksa makna dari ajaran-ajaran yang ia ingat tetapi tidak mendorong orang lain untuk memeriksa makna-maknanya; 

(8) ketika ia sendiri telah memahami makna dan Dhamma dan berlatih sesuai Dhamma, tetapi tidak mendorong orang lain agar melakukan hal serupa: dengan cara inilah, Mahānāma, umat awam itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi tidak demi kesejahteraan orang lain.”


“Dengan cara bagaimanakah, Bhante, seorang umat awam berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan juga demi kesejahteraan orang lain?”

(1) “Ketika, Mahānāma, seorang umat awam sempurna dalam keyakinan dan juga mendorong orang lain agar sempurna dalam keyakinan; 

(2) ketika ia sendiri sempurna dalam perilaku bermoral dan juga mendorong orang lain agar sempurna dalam perilaku bermoral; 

(3) ketika ia sendiri sempurna dalam kedermawanan dan juga mendorong orang lain agar sempurna dalam kedermawanan; 

(4) ketika ia sendiri ingin menemui para bhikkhu dan juga mendorong orang lain untuk menemui para bhikkhu; 

(5) ketika ia sendiri ingin mendengarkan Dhamma sejati dan juga mendorong orang lain untuk mendengar Dhamma sejati; 

(6) ketika ia sendiri mengingat ajaran yang telah ia dengar dan juga mendorong orang lain untuk mengingat ajaran; 

(7) ketika ia sendiri memeriksa makna dari ajaran-ajaran yang ia ingat dan juga mendorong orang lain untuk memeriksa makna-maknanya; 

(8) ketika ia sendiri telah memahami makna dan Dhamma dan berlatih sesuai Dhamma dan juga mendorong orang lain agar melakukan hal serupa: dengan cara inilah, Mahānāma, umat awam itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan juga demi kesejahteraan orang lain.”

#Sutta_BI

#Anguttara_Nikaya_BI

Sumber : Facebook grup BUDDHA Indonesia

By : Romo Kalyana Papamitta

Sebab mulia



Dengan adanya ketidaktahuan timbullah bentuk bentuk kehendak..

Dengan adanya bentuk bentuk kehendak timbullah kesadaran.

Dengan adanya kesadaran timbullah batin dan jasmani.

Dengan adanya batin dan jasmani timbullah landasan indera.

Dengan adanya landasan indera timbullah kontak.

Dengan adanya kontak timbullah perasaan.

Dengan adanya perasaan timbullah nafsu keinginan.

Dengan adanya nafsu keinginan timbullah kemelekatan.

Dengan adanya kemelekatan timbullah penjadian/dumadi.

Dengan adanya penjadian timbullah kelahiran.

Dengan adanya kelahiran timbullah usia tua dan kematian, sedih , ratap tangis, derita ( badan ), duka cita, putus asa muncul.

Inilah dikatakan sebagai kebenaran mulia tentang sebab dari dukkha.

sumber : Buku Paritta Suci, Puja pagi 21

Clash of Clans Warbase Design from Hokkien Medan 8 VS GORGAN#

>

Arini